يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ NURUL QOLBI: WASIAT RASAUL SAW

nurul qolbi



MARI BERGABUNG DALAM KAJIAN TEBAR PESONA ISLAM RAIH INDAH NYA IMAN

شاہ مدینہ (ص) شاہ مدینہ (ص)۔ یثرب کے والی سارے نبی تیرے در کے سوالی شاہ مدینہ (ص) شاہ مدینہ (ص)۔ جلو

Cari Blog Ini

Rabu, 16 Juni 2010

WASIAT RASAUL SAW

Rasulullah Saw. berpesan kepada kita untuk menjauhi 3 (tiga) sifat buruk yang merupakan sumber malapetaka dan sumber kejahatan, yang salah satunya adalah sifat takabbur dan sombong. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir,

“Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian sifat sombong, karena sesungguhnya Iblis tidak mau sujud kepada Adam dikarenakan terdorong oleh sifat sombong. Jauhilah oleh kalian sifat rakus, sebab karena sifat rakuslah Adam mau memakan buah pohon terlarang (khuldi). Dan jauhilah oleh kalian sifat dengki (hasud), sebab karena sifat dengki inilah seorang diantara anak Adam (manusia) membunuh saudaranya. Semua sifat tersebut adalah sumber dari segala perbuatan dosa.” (HR. Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Mas’ud).
Dalam berinteraksi dengan jebakan dan godaan Iblis satu-satunya yang bermakna dan tak terkalahkan ialah “keikhlasan”. Wajar jika imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menulis demikian “Telah terbuka bagi mereka yang memiliki kejernihan hati melalui penginderaan iman dan cahaya Al-Qur’an bahwa sekali-kali tidaklah seseorang sampai pada kebahagiaan hakiki kecuali dengan ilmu dan ibadah. Manusia semuanya sengsara kecuali mereka yang berilmu. Orang-orang yang berilmu semuanya sengsara kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan ilmunyapun semuanya sengsara kecuali mereka yang ikhlas. Sedangkan mereka yang ikhlas berada pada marabahaya yang besar karena beramal tanpa niat berarti kesia-siaan dan niat tanpa kemurnian berarti riya’. Sedangkan orang yang berlaku riya’ cukuplah dikatakan sebagai munafiq.”

Barangkali sebagai sebuah ilustrasi ada baiknya kita nukil kisah berikut ini. Diriwayatkan dari Al-Hasan berkata, “Ada sebuah pohon yang disembah manusia selain Allah. Maka seseorang mendatangi pohon tersebut dan berkata, ‘Saya akan tebang pohon itu.’ Maka ia mendekati pohon tersebut untuk menebangnya sebagai bentuk marahnya karena Allah. Maka syetan menemuinya dalam bentuk manusia dan berkata, ‘Engkau mau apa?’ Orang itu berkata, ‘Saya hendak menebang pohon ini karena disembah selain Allah.’ Syetan berkata, ‘Jika engkau tidak menyembahnya, maka bukankah orang lain yang menyembahnya tidak membahayakanmu?’ Berkata lelaki itu, “Saya tetap akan menebangnya.’

Berkata syetan, ‘Maukah aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik bagimu? Engkau tidak menebangnya dan engkau akan mendapatkan dua dinar setiap hari. Jika engkau bangun pagi, engkau akan dapatkan di bawah bantalmu.’ Berkata si lelaki itu, ‘Mungkinkah itu terjadi?’ Berkata syetan, ‘Saya yang menjaminnya.’

Maka kembalilah lelaki itu, dan setiap pagi mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya. Pada suatu pagi ia tidak mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya, sehingga marah dan akan kembali menebang pohon. Syetan menghadangnya dalam wujud aslinya dan berkata, ‘Engkau mau apa?’

Berkata lelaki itu, ‘Saya akan menebang pohon ini karena disembah selain Allah.’ Berkata syetan, ‘Engkau berdusta, engkau akan melakukan ini karena diputus jalan rezekimu.’ Tetapi lelaki itu memaksa akan menebangnya, syetan memukulnya, mencekik dan hampir mati, kemudian berkata, ‘Tahukah kau siapa saya?’ Maka ia memberitahukan bahwa dirinya adalah syetan.

Syetan berkata, ‘Engkau datang pada saat pertama, marah karena Allah. Sehingga saya tidak mampu melawanmu. Oleh karena itu saya menipumu dengan dua dinar. Dan engkau tertipu dan meninggalkannya. Dan pada saat engkau tidak mendapatkan dua dinar, engkau datang dan marah karena dua dinar tersebut, sehingga saya mampu mengalahkanmu.’”

Ikhlas adalah pembersihan hati dari segala noda, sedikit maupun banyak, sehingga kita mencapai taqarrub kepada Allah s.w.t. hanya karenaNya semata. Tak mungkin hal ini kita raih kecuali atas dasar cinta (mahabbah) kepada Allah dan berorientasi akherat. Ikhlas adalah akumulasi dan titik perpaduan sejati antara hati yang bersih dan akhlak yang terpuji. Hati yang didominasi oleh mahabbah dan orientasi akherat melahirkan kebiasaan hidup yang penuh dengan nilai-nilai ilahiah. Demikian pula hati yang sarat dengan tujuan duniawi, jabatan, kekayaan dan apa saja selain Allah s.w.t. seluruh gerak hidupnya akan melahirkan malapetaka yang membinasakan dirinya sendiri.
Ketika Adam telah sempurna diciptakan, Allah s.w.t bertitah agar seluruh malaikat sungkur bersujud sebagai symbol penghormatan atas kemuliaannya. Tak satupun diantara mereka membangkang terhadap perintah tersebut kecuali Iblis. Allah s.w.t. bertanya,”Hai Iblis, apa gerangan yang membuatmu enggan bersujud kepada sesuatu yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu. Apakah kau menyombongkan diri ataukah kau merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi derajatnya?.” Dengan angkuh Iblis menyatakan keengganannya untuk bersujud karena ia merasa lebih baik; ia tercipta dari api sementara Adam tercipta dari tanah!. Sikap rasialis inilah kemudian membuatnya terusir dari surga dan menjadikannya sebagai makhluk terkutuk, “Sesungguhnya kutukanKu tetap atasmu sampai hari pembalasan!”.

Iblis “legowo” dengan keputusan tersebut. Namun ia tak kurang akal, Iblis mohon kepada Allah agar masa hidupnya ditangguhkan (langgeng) sampai hari ketika sangkakala ditiupkan, sebagai pertanda kematian semua makhluk. Iblispun bersumpah “Maka demi kekuasaan dan keagungganMu ya Rabb sungguh aku sesatkan semua keturunan Adam, kecuali hamba-hambaMu yang ikhlas di antara mereka.”(Shad : 72-83)

Adapun ciri dari pada orang yang muklis atau orang-orang yang dimurnikan oleh Allah s.w.t. hanya untuk beribadah kepadaNya dan diselamatkan dari tipu daya Iblis, di antarnya adalah :

1.Takut popularitas. Dari Ka’ab bin Malik r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar dikirim ke kambing lebih merusak melebihi ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi).
Popularitas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang tercela. Namun mencari popularitas, ketenaran, jabatan dan kedudukan dengan cara-cara ilegal dan bertentangan dengan syariat ataupun hukum positif adalah sesuatu yang wajib dijauhi. Apalagi dengan mengorbankan kehormatan orang lain. Rasulullah s.a.w. ditanya tentang seseorang yang berbuat kebaikan untuk Allah dan dipuji oleh orang lain. Beliau menjawab,”Itu adalah kebahagiaan orang mukmin yang disegerakan. ”(HR Muslim).

2.Curiga pada diri sendiri. Orang yang ikhlas takkan pernah menyibukkan diri dengan ‘aib orang lain. Ia selalu jujur atas kekurangan dirinya sendiri dan ketidakmampuannya dalam menata batinnya. Suatu ketika aisyah bertanya kepada Rasulallah s.a.w. tentang orang yang dimaksud dalam firman Allah “ Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (al-Mu’minun [23[:60), apakah mereka para pencuri, pezina dan pemabuk?. Beliau menjawab,”Tidak wahai A’isyah. Mereka justeru orang-orang yang gemar menunaikan shalat, puasa, shadaqah. Namun mereka selalu takut kepada Allah seandainya amalan mereka itu ditolak olehNya. Mereka adalah yang dimaksud dalam ayat Allah ‘Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.’” (al-Mu’minun [23[:61)

3.Tidak berharap pujian. Seorang yang mukhlish mengharapkan segalanya dari Allah s.w.t. semata. Kita takkan pernah tau apakah amal yang lampau diterima oleh Allah s.w.t. atau tidak sebagaimana kita takkan pernah mengetahui apakah yang akan menjadi kenyataan kita di esok hari. Lalu mengapa kita berharap pujian manusia? Bukankah itu karakter orang-orang munafiq yang dikecam dalam firmankanNya :”Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Alu Imran [3]:188)

4.Konsisten, sabar dan bertanggungjawab. Keikhlasan mendorong kita untuk selalu bertahan dengan stamina prima, sabar sekaligus bertanggungjawab atas amanah yang dibebankan kepada kita. Khalid bin Walid mengajarkan kita makna mendalam dalam hal ini. Ketika beliau memimpin sebuah pasukan sebagai panglima perang melawan kaum musyrikin dan meraih prestasi militer gemilang, Khalifah Umar Ibn Khaththab memerintahkan untuk mundur dari jabatan panglima dan bergabung dengan pasukan Abu ‘Ubaidah ibn Jarrah sebagai tentara biasa. Tak sedikitpun ia canggung atau bahkan menggurui! Padahal ia sangat dikenal sebagai pimpinan tentara yang handal. Demikian pula potret keikhlasan yang diajarkan kepada kita oleh orang-orang seperti Bilal bin Rabah dan kelurga Yasir di masa awal Islam.

5.Seorang mukhlish takkan pernah memilah-milah tugasnya. Ia kerjakan dengan baik apa yang diamanahkan kepadanya. Karena ia tahu semuanya hanya lillahi ta’ala, bukan untuk apa dan siapapun. Rasulullah s.a.w bersabda, “Kebahagiaan bagi orang yang mengambil tali kekang kudanya pada jalan Allah, rambutnya terurai tak beraturan, kedua kakinya berdebu. Jika ia berada pada barisan belakang maka ia menetapi barisan tersebut. Dan jika ia berada pada barisan penjaga, maka ia pun menetapi barisan penjaga” (HR Bukhari).

6.Menjaga kesucian jiwa. Keikhlasan senantiasa bersemayam pada jiwa yang suci, hati yang bening. Sambil menunjuk dadanya, Rasulullah s.a.w. berkata tiga kali “takwa berada di sini!.” (HR Muslim). Allah s.w.t. berfirman “…orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya. dan dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (al-Najm [53]:32). Pada bagian lain Allah s.w.t bertitah “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia menunaikan shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la [87]:14-17).
Dalam berinteraksi dengan jebakan dan godaan Iblis satu-satunya yang bermakna dan tak terkalahkan ialah “keikhlasan”. Wajar jika imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menulis demikian “Telah terbuka bagi mereka yang memiliki kejernihan hati melalui penginderaan iman dan cahaya Al-Qur’an bahwa sekali-kali tidaklah seseorang sampai pada kebahagiaan hakiki kecuali dengan ilmu dan ibadah. Manusia semuanya sengsara kecuali mereka yang berilmu. Orang-orang yang berilmu semuanya sengsara kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan ilmunyapun semuanya sengsara kecuali mereka yang ikhlas. Sedangkan mereka yang ikhlas berada pada marabahaya yang besar karena beramal tanpa niat berarti kesia-siaan dan niat tanpa kemurnian berarti riya’. Sedangkan orang yang berlaku riya’ cukuplah dikatakan sebagai munafiq.”

Barangkali sebagai sebuah ilustrasi ada baiknya kita nukil kisah berikut ini. Diriwayatkan dari Al-Hasan berkata, “Ada sebuah pohon yang disembah manusia selain Allah. Maka seseorang mendatangi pohon tersebut dan berkata, ‘Saya akan tebang pohon itu.’ Maka ia mendekati pohon tersebut untuk menebangnya sebagai bentuk marahnya karena Allah. Maka syetan menemuinya dalam bentuk manusia dan berkata, ‘Engkau mau apa?’ Orang itu berkata, ‘Saya hendak menebang pohon ini karena disembah selain Allah.’ Syetan berkata, ‘Jika engkau tidak menyembahnya, maka bukankah orang lain yang menyembahnya tidak membahayakanmu?’ Berkata lelaki itu, “Saya tetap akan menebangnya.’

Berkata syetan, ‘Maukah aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik bagimu? Engkau tidak menebangnya dan engkau akan mendapatkan dua dinar setiap hari. Jika engkau bangun pagi, engkau akan dapatkan di bawah bantalmu.’ Berkata si lelaki itu, ‘Mungkinkah itu terjadi?’ Berkata syetan, ‘Saya yang menjaminnya.’

Maka kembalilah lelaki itu, dan setiap pagi mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya. Pada suatu pagi ia tidak mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya, sehingga marah dan akan kembali menebang pohon. Syetan menghadangnya dalam wujud aslinya dan berkata, ‘Engkau mau apa?’

Berkata lelaki itu, ‘Saya akan menebang pohon ini karena disembah selain Allah.’ Berkata syetan, ‘Engkau berdusta, engkau akan melakukan ini karena diputus jalan rezekimu.’ Tetapi lelaki itu memaksa akan menebangnya, syetan memukulnya, mencekik dan hampir mati, kemudian berkata, ‘Tahukah kau siapa saya?’ Maka ia memberitahukan bahwa dirinya adalah syetan.

Syetan berkata, ‘Engkau datang pada saat pertama, marah karena Allah. Sehingga saya tidak mampu melawanmu. Oleh karena itu saya menipumu dengan dua dinar. Dan engkau tertipu dan meninggalkannya. Dan pada saat engkau tidak mendapatkan dua dinar, engkau datang dan marah karena dua dinar tersebut, sehingga saya mampu mengalahkanmu.’”

Ikhlas adalah pembersihan hati dari segala noda, sedikit maupun banyak, sehingga kita mencapai taqarrub kepada Allah s.w.t. hanya karenaNya semata. Tak mungkin hal ini kita raih kecuali atas dasar cinta (mahabbah) kepada Allah dan berorientasi akherat. Ikhlas adalah akumulasi dan titik perpaduan sejati antara hati yang bersih dan akhlak yang terpuji. Hati yang didominasi oleh mahabbah dan orientasi akherat melahirkan kebiasaan hidup yang penuh dengan nilai-nilai ilahiah. Demikian pula hati yang sarat dengan tujuan duniawi, jabatan, kekayaan dan apa saja selain Allah s.w.t. seluruh gerak hidupnya akan melahirkan malapetaka yang membinasakan dirinya sendiri.
Allah berfirman dalam QS.33 Al Ahzab;72 :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh

Para mufasir besar Islam telah banyak mendiskusikan ayat ini. Mereka berusaha memperjelas dan menerangkan makna “amanat” ini. Mereka telah menyampaikan berbagai pandangan terbaik atasnya, yang didasarkan pada kandungan ayat. Kendati tafsiran-tafsirannya berbeda ini tidaklah kontradiktif, namun saling melengkapi dan berpangkal kepada pengertian amanat sebagai taklif (beban kewajiban) dan penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya, jika seseorang melaksanakan maka diganjar, dan jika meninggalkan maka diberi sanksi. Kemudian amanat itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah SWT.

Lebih lanjut Imani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki talenta luar biasa yang dengan itu bisa menjadi ekstensi sempurna dari kekhalifahan Allah. Dengan pencarian ilmu, penyucian jiwa rendah, dan penunaian kewajiban-kewajiban agama, manusia tentu bisa mendapatkan puncak kehormatan dan melampaui para malaikat. Contohnya: Rasulullah SAWW naik ke sidratul montaha tanpa didampingi oleh malaikat Jibril, sebab Jibril sudah tidak mampu naik ke sidratul montaha tsb. Hal ini merupakan bukti bahwa manusia memiliki potensi yang bisa mengalahkan makhluk Allah sekalipun malaikat setingkat Jibril.

Talenta ini disertai dengan kehendak bebas dan otoritas, yakni ia bisa memulai jalan ini dari awal dan membukakannya oleh dirinya sendiri dan dengan otoritasnya menuju keabadian. Langit, bumi, dan gunung-gunung juga memiliki sejenis makrifatullah sehingga mereka sibuk berzikir dan mengagungkan Allah SWT. Mereka tunduk dan bersujud di hadapan keagungan-Nya. Akan tetapi, semua perbuatan ini bersifat bawaan, genetik dan paksaan. Itulah sebabnya tidak ada perkembangan dalam diri mereka.

Satu-satunya makhluk yang naik dan turunnya tidak terbatas, mendaki puncak kesempurnaan, melakukan semua hal dengan kehendak serta otoritasnya hanyalah manusia. Manusia yang tampaknya kecil, jika ia tidak melupakan martabatnya maka akan menjelma sebagai salah satu tanda keajaiban alam makhluk, yang mampu membawa beban amanat yang langit, bumi, dan gunung-gunung tidak mampu memikulnya.

Dengan kata lain, amanat Ilahi merupakan potensialitas dari kesempurnaan tak terbatas yang disertai dengan kehendak bebas dan otoritas sehingga ia dapat mencapai derajat hamba Allah yang sempurna dan ikhlas (insan kamil) dengan sarana penerimaan kecintaan kepada Allah SWT. Inilah amanat Allah yang tidak sanggup dipikul oleh makhluk Allah lainnya.

Dengan demikian, secara lahiriah QS.33 :72 bisa dipahami bahwa Allah SWT telah melimpahkan berbagai keistimewaan dan kekhususan pada diri manusia yang tak satu makhluk pun di langit dan di bumi memilikinya. Keistimewaan-keistimewaan ini merupakan amanat Allah yang memunculkan sejumlah tanggung-jawab bagi manusia.

Akan tetapi, banyak manusia yang menyelewengkan amanat ini dan menerapkan di jalan penentangan kepada perintah Allah SWT. Akal dan kehendak manusia yang semestinya digunakan di jalan pengenalan kebenaran dan memilihnya. Sehingga ia bisa menjadi sebab pertumbuhan dan kesempurnaan dirinya. Namun banyak juga yang telah diterapkan dalam sejumlah jalan yang keliru. Hal ini membuahkan perluasan kezaliman dan kebuasan perilaku manusia yang telah dihitung sebagai suatu perbuatan zalim dan bodoh..Wallahu' a'lam bissowwab
Allah berfirman dalam QS.33 Al Ahzab;72 :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh

Para mufasir besar Islam telah banyak mendiskusikan ayat ini. Mereka berusaha memperjelas dan menerangkan makna “amanat” ini. Mereka telah menyampaikan berbagai pandangan terbaik atasnya, yang didasarkan pada kandungan ayat. Kendati tafsiran-tafsirannya berbeda ini tidaklah kontradiktif, namun saling melengkapi dan berpangkal kepada pengertian amanat sebagai taklif (beban kewajiban) dan penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya, jika seseorang melaksanakan maka diganjar, dan jika meninggalkan maka diberi sanksi. Kemudian amanat itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah SWT.

Lebih lanjut Imani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki talenta luar biasa yang dengan itu bisa menjadi ekstensi sempurna dari kekhalifahan Allah. Dengan pencarian ilmu, penyucian jiwa rendah, dan penunaian kewajiban-kewajiban agama, manusia tentu bisa mendapatkan puncak kehormatan dan melampaui para malaikat. Contohnya: Rasulullah SAWW naik ke sidratul montaha tanpa didampingi oleh malaikat Jibril, sebab Jibril sudah tidak mampu naik ke sidratul montaha tsb. Hal ini merupakan bukti bahwa manusia memiliki potensi yang bisa mengalahkan makhluk Allah sekalipun malaikat setingkat Jibril.

Talenta ini disertai dengan kehendak bebas dan otoritas, yakni ia bisa memulai jalan ini dari awal dan membukakannya oleh dirinya sendiri dan dengan otoritasnya menuju keabadian. Langit, bumi, dan gunung-gunung juga memiliki sejenis makrifatullah sehingga mereka sibuk berzikir dan mengagungkan Allah SWT. Mereka tunduk dan bersujud di hadapan keagungan-Nya. Akan tetapi, semua perbuatan ini bersifat bawaan, genetik dan paksaan. Itulah sebabnya tidak ada perkembangan dalam diri mereka.

Satu-satunya makhluk yang naik dan turunnya tidak terbatas, mendaki puncak kesempurnaan, melakukan semua hal dengan kehendak serta otoritasnya hanyalah manusia. Manusia yang tampaknya kecil, jika ia tidak melupakan martabatnya maka akan menjelma sebagai salah satu tanda keajaiban alam makhluk, yang mampu membawa beban amanat yang langit, bumi, dan gunung-gunung tidak mampu memikulnya.

Dengan kata lain, amanat Ilahi merupakan potensialitas dari kesempurnaan tak terbatas yang disertai dengan kehendak bebas dan otoritas sehingga ia dapat mencapai derajat hamba Allah yang sempurna dan ikhlas (insan kamil) dengan sarana penerimaan kecintaan kepada Allah SWT. Inilah amanat Allah yang tidak sanggup dipikul oleh makhluk Allah lainnya.

Dengan demikian, secara lahiriah QS.33 :72 bisa dipahami bahwa Allah SWT telah melimpahkan berbagai keistimewaan dan kekhususan pada diri manusia yang tak satu makhluk pun di langit dan di bumi memilikinya. Keistimewaan-keistimewaan ini merupakan amanat Allah yang memunculkan sejumlah tanggung-jawab bagi manusia.

Akan tetapi, banyak manusia yang menyelewengkan amanat ini dan menerapkan di jalan penentangan kepada perintah Allah SWT. Akal dan kehendak manusia yang semestinya digunakan di jalan pengenalan kebenaran dan memilihnya. Sehingga ia bisa menjadi sebab pertumbuhan dan kesempurnaan dirinya. Namun banyak juga yang telah diterapkan dalam sejumlah jalan yang keliru. Hal ini membuahkan perluasan kezaliman dan kebuasan perilaku manusia yang telah dihitung sebagai suatu perbuatan zalim dan bodoh..Wallahu' a'lam bissowwab

Tidak ada komentar: